FAKULTAS HUKUM UMPR
JUSTISY, PIETY, HUMANITY
FAKULTAS HUKUM UMPR
JUSTISY, PIETY, HUMANITY

Kolaborasi FH UMPR Bersama Imparsial dan Misereor Angkat Isu Krusial: Setengah Hati Mengatur Pidana Mati

Palangka Raya, 25 November 2025 – Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palangka Raya ( FH UMPR), bekerja sama dengan Imparsial dan Misereor, sukses menyelenggarakan sebuah Seminar Nasional yang sangat krusial dan timely dengan tema provokatif: “Setengah Hati Mengatur Pidana Mati.” Acara ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam dan kritis terhadap formulasi serta implementasi kebijakan hukuman mati di Indonesia, terutama pasca-disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memuat ketentuan mengenai masa percobaan.

Seminar penting ini telah dilaksanakan pada Selasa, 25 November 2025, dimulai tepat pada pukul 09.00 WIB hingga selesai. Lokasi penyelenggaraan adalah di Aula PWM Kalteng yang menjadi pusat diskusi dan pertukaran gagasan para akademisi, praktisi hukum, dan aktivis hak asasi manusia di Kalimantan Tengah. Bagi audiens yang tidak dapat hadir secara langsung, kegiatan ini juga disiarkan secara daring melalui kanal Live Youtube Imparsial, memastikan akses publik yang luas terhadap perdebatan hukum yang sensitif ini.

Topik utama yang diangkat adalah perumusan kebijakan pidana mati dalam sistem hukum nasional yang dinilai memiliki ambivalensi atau “setengah hati.” Hal ini merujuk pada ketentuan baru dalam KUHP 2023 yang memberikan masa percobaan (penundaan eksekusi) selama 10 tahun, membuka ruang bagi terpidana mati untuk mengajukan grasi atau mendapat perubahan pidana menjadi seumur hidup, dengan mempertimbangkan aspek moral, kemanusiaan, dan rekam jejak. Diskusi ini berfokus pada analisis mendalam mengenai inkonsistensi filosofis, tantangan implementasi, serta dampak kebijakan ini terhadap prinsip keadilan dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Seminar ini menghadirkan tiga narasumber terkemuka dari berbagai latar belakang keahlian. Dr. Hj. Laksminarti, S.H., M.H., seorang Akademisi dari UMPR, memberikan perspektif hukum dan akademis mengenai konstruksi pidana mati dalam KUHP yang baru. Kemudian, Ardiyanto Bolomba dari DPP KNPI, membawa pandangan perwakilan pemuda dan masyarakat dalam melihat isu hukuman mati dari kacamata sosial dan kebijakan publik. Terakhir, Riyadh Putuhena seorang Peneliti dari Imparsial sebuah lembaga yang fokus pada isu HAM dan reformasi sektor keamanan mengupas tuntas implikasi HAM dan isu-isu internasional terkait penerapan pidana mati di Indonesia.

Alasan utama diadakannya seminar ini adalah untuk merespons dinamika dan kontroversi yang menyelimuti pengaturan pidana mati dalam KUHP 2023. Aturan baru ini menimbulkan pertanyaan besar tentang komitmen negara terhadap penghapusan hukuman mati dan sekaligus memenuhi tuntutan keadilan retributif. Seminar ini menjadi forum penting untuk melakukan diseminasi pengetahuan, kritik konstruktif, dan mencari titik temu antara kepastian hukum, rasa keadilan masyarakat, dan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Diskusi dilaksanakan melalui seminar nasional yang interaktif, menampilkan presentasi dari para narasumber yang dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dan diskusi terbuka. Selain presentasi narasumber, kegiatan ini juga memberikan kesempatan kepada peserta yang terdiri dari mahasiswa, dosen, praktisi hukum, dan aktivis untuk berpartisipasi aktif, memperkaya sudut pandang terhadap isu sensitif ini. Penyiaran langsung melalui YouTube Imparsial juga memastikan bahwa perdebatan ini terdokumentasi dan dapat diakses oleh khalayak yang lebih luas, memberikan sumbangsih pemikiran bagi reformasi hukum pidana di masa depan.

Seminar ini menegaskan kembali peran penting perguruan tinggi dan organisasi masyarakat sipil dalam mengawal proses legislasi dan implementasi hukum, khususnya pada isu-isu yang bersentuhan langsung dengan hak fundamental warga negara. Kontroversi tentang “Setengah Hati Mengatur Pidana Mati” diharapkan dapat memicu kajian lebih lanjut dan mendorong pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang lebih koheren dan berlandaskan pada prinsip keadilan yang sejati.

(Ahmad Habibi)